Oleh: Harits Abu Ulya
Pemerhati Kontra-Terorisme & Direktur CIIA
Pemerhati Kontra-Terorisme & Direktur CIIA
Akhirnya Ansyad Mbai (Ketua BNPT) buru-buru membantah pihaknya
menggulirkan isu sertifikasi ulama di Indonesia. Menurut Ansyad yang
benar adalah Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris mencontohkan
Singapura yang melakukan sertifikasi ulama. Jurus ngeles ini jalan
keluar satu-satunya setelah hampir semua kalangan dari tokoh ormas, para
kyai dan bahkan seorang Ketua MK (Mahfud MD) ikut menolak ide
sertifikasi.
Seperti pepatah "siapa yang menabur angin maka akan menuai badainya",
kira-kira prediksi saya terhadap langkah BNPT kedepan akan seperti itu.
Kenapa demikian? Sekalipun dalam dua tahun terakhir BNPT banyak
menfasilitasi berbagai komponen atau elemen masyarakat untuk membuat
berbagai agenda dalam proyek deradikalisasi.Proyek ini nasional, dengan
harapan bisa memenangkan hati dan pikiran publik (the strategy of winning the heart and mind), dalam bahasa Ansyad Mbai (Ketua BNPT) sebagai perang untuk memenangkan hati nurani.
Tapi BNPT bisa dibilang kesandung atau gagal, indikasinya begitu
mewacanakan sertifikasi ulama ternyata menjadi buah simalakama buat
BNPT.Resistensi publik begitu tinggi, muncul komentar dari yang halus
hingga "kasar"; ide gila, ide nyleneh, ngawur, sontoloyo, geblek, entah
apalagi. Yang jelas itu artikulasi kekesalan publik atas ide atau wacana
yang sangat naïf dalam isu terorisme.
Kenapa Ansyad Mbai Cs (BNPT) ingin meraih dukungan dan legitimasi
publik? Dikarenakan paradigma yang diadopsi oleh BNPT dalam memetakan
fenomena terorisme dan akar penyebabnya menempatkan pemahaman-pemahaman
radikal (dalam agama Islam) sebagai faktor atau penyebab utamanya. Maka
perlu langkah deradikalisasi dan kontra-radikalisasi. Deradikasilsasi
dibangun atas asumsi; adanya ideologi radikal yang mengeksploitasi
faktor komplek yang ada (kemiskinan,keterbelakangan, marginalisasi,
pemerintahan otoriter, dominasi negara super power, globalisasi, dsb).
Akhirnya melahirkan spirit perlawanan untuk perubahan dengan
tindakan-tindakan teror ketika jalan damai (kompromi) dianggap tidak
memberikan efek apapun. Ideologi radikal ditempatkan sebagai akar
sesungguhnya dari fenomena terorisme, dalam kerangka pandangan seperti
inilah deradikalisasi di manefestasikan. Dan deradikalisasi dianggap
sebagai jawaban tuntas atas persoalan terorisme. Dan BNPT ingin
mensublimasi publik dalam paradigma seperti ini, dengan target lenyapnya
pemahaman radikal ditengah-tengah mereka (umat Islam). Efek berikutnya
jika BNPT berhasil dengan hal tersebut maka akan bisa memuluskan
kepentingan-kepentingan yang lebih besar; penguatan legal frame (regulasi) sampai pelarangan kelompok-kelompok yang dicap radikal atau fundamentalis.
Dan hakikat deradikalisasi yang diimplementasikan oleh BNPT itu adalah langkah "soft approach",
turunan dari strategi kontra-terorisme. Sebuah kebijakan politik
sebagai upaya baik dalam bentuk langkah strategis maupun taktis untuk
memotong seluruh variabel yang dipandang sebagai stimulan lahirnya
tindakan "terorisme" baik pra maupun pasca (terkait pembinaan terhadap
narapidana dan mantan combatan).
Namun sayangnya, bisa dipastikan BNPT menempatkan term radikal dengan pemaknaan yang stereotif, over simplikasi dan subyektif."Radikal"
menjadi label yang di lekatkan kepada individu atau kelompok muslim
yang memiliki cara padang, sikap keberagamaan dan politik yang
kontradiksi dengan mainstream yang ada. Atau cap "radikal" itu untuk orang atau kelompok jika memiliki prinsip-prinsip seperti; menghakimi
orang yang tidak sepaham dengan pemikiranya, mengganti ideologi
Pancasila dengan versi mereka, mengganti NKRI dengan Khilafah, gerakan
mengubah negara bangsa menjadi negara agama, memperjuangkan formalisasi
syariat dalam negara, menggangap Amerika Serikat sebagai biang
kedzaliman global.
Maka yang dimaksud "de-radikalisasi" adalah langkah upaya untuk merubah sikap dan cara pandang diatas yang dianggap keras (dengan julukan lain; fundamentalis) menjadi lunak; toleran, pluralis, moderat dan liberal.
Definisi radikal diatas sangat bias, persis seperti dunia Barat
menjelaskan konsep radikal secara simplistik, bahwa radikalisme banyak
diasosiasikan dengan mereka yang berbeda pandangan secara ektrem dengan
dunia Barat. (lihat laporan utama majalah Time ed 13 September 2004,
setebal sembilan halaman menjelaskan konsep radikal menurut kacamata
Barat).
Dalam konteks inilah sesungguhnya ide sertifikasi ulama itu di
wacanakan oleh BNPT. Upaya untuk memaksa mindset (baca;pikiran, logika
berpikir, isi otak) para ulama sama seperti yang di inginkan oleh BNPT.
Mereka (BNPT) berharap sekali ulama itu legowo mau mengusung Islam
moderat, liberal dan pluralis. Dan mereka yang sudah mendapat
sertifikasi itulah yang dianggap legal untuk menyampaikan dakwah
ketengah-tengah umat.Menjadi komunikan yang piawai membangun persepsi
dan pemahaman umat Islam yang lebih moderat dan pluralis. Dengan begitu
benih-benih terorisme akan tereduksi habis.
Cara pandang seperti ini hakikatnya menampar muka BNPT sendiri,
secara tidak sadar telah menuduh para ulama yang ada selama ini menjadi
biang lahirnya tindakan-tindakan radikal fisik atau bahkan terorisme.
Dan tidak salah kalau langkah BNPT dianggap sebagai deradikalisasi yang
salah arah, karena dengan jelas-jelas menyudutkan Islam, ulama dan
umatnya sebagai habitat subur lahirnya terorisme.Bahkan seolah bernafsu
sekali setback membangun kehidupan masyarakat di bawah rezim yang
represif dan tirani.
Jadi sertifikasi ulama pada awalnya sebagai upaya revisi
pemikiran.Inilah substansi ide sertifikasi ulama, awalnya tidak masuk di
ranah legalitas atau pengakuan. Namun sekalipun BNPT bermaksud hanya
main di ranah substansi pemikiran tetap saja akhirnya pada tataran
praksis akan mereduksi "titel" ulama. Sebuah "titel" yang hakikatnya
bukan hadiah atau pemberian negara atau pemerintah tapi itu adalah
pengakuan umat kepada mereka dengan segala parameternya. Ulama itu bukan
orang yang memegang SIM (surat izin mubaligh)
dari pemerintah untuk bisa ceramah atau dakwah dimimbar-mimbar, forum
tertutup maupun terbuka.Sebuah pembodohan jika berupaya membangun
mindset masyarakat (umat Islam) penerimaan atau penolakan mereka
terhadap ulama berdasarkan ada tidaknya sertifikat yang dimiliki
seseorang. Umat harus sadar bahaya atau implikasinya lebih jauh strategi
seperti ini.
Sertifikasi ulama adalah derivat dari strategi counter ideologi
radikal (deradikalisasi), dan berdiri diatas paradigma "sarang
laba-laba" artinya sangat rapuh sekali.Sebuah upaya revisi pemikiran
yang hakikatnya adalah tahrif (penyimpangan) dan tadzlil (penyesatan) pada
terma-terma utama yang dituduh sebagai pemicu lahirnya radikalisme
dalam Islam. Dalam berbagai forum yang digelar, BNPT berusahan
menawarkan tafsiran-tafsiran baru terhadap teks-teks samawi. Karena
selama ini pemahaman yang dianggap radikal terhadap teks-teks (nash)
menjadi sumber lahirnya terorisme. Karena itu BNPT dalam perang
pemikiran dan opini berusaha "mengkonstruksi" ulang beberapa pengertian
terhadap terminologi-terminologi tertentu. Misalkan BNPT selalu
menampilkan "ijtihad-ijtihad" baru terhadap istilah: 1.Jihad/istishad/ightiyalat dan intihar, 2. Klaim kebenaran, 3. Amar ma'ruf nahyi munkar, 4. Hijrah, 5. Thagut, 6. Muslim dan kafir, 7.Ummatan washat, 8.Doktrin konspirasi, 9. Tasamuh, 10. Daulah Islam dan Khilafah.
Misalkan masalah "jihad"; BNPT berusaha menampilkan tafsiran yang
menyempitkan makna jihad. Dan berusaha mengaborsi dengan argumentasi
yang "lacut" bahwa jihad tidak lagi harus di maknai sebagai "al Qital".
Maka hakikatnya ini bukanlah "ijtihad" melainkan dekonstruksi
terminologi yang telah baku ditentukan oleh syariat. Tampak sekali,
jihad menjadi momok dan seolah menjadi perkara yang harus di aborsi pada
diri umat Islam.Demikian juga pada istilah lainya, bahkan cenderung
melakukan monsterisasi dan mengkriminalisasi istilah-istilah daulah
Islam dan Khilafah. Dibangun persepsi seolah menjadi suatu istilah
secara politik perkara yang tidak menguntungkan bagi umat dan kalau
perlu harus dibuang jauh-jauh dari benak umat Islam.
Jika BNPT mengkampanyekan "Islam Rahmatan Lil 'Alamin"
dalam berbagai kesempatan, sejauh ini tidak bisa menjelaskan apa yang
dimaksudkan Islam versi BNPT tersebut. Penulis berani ambil kesimpulan
inilah yang disebut dengan "kalimatul haq iroda bihal baatil"
(kalimat yang benar tapi yang diinginkan adalah kebatilan). Dengan kata
lain, ini artikulasi manipulatif BNPT atas nama pluralisme,
liberalisme, moderatisme yang jelas-jelas telah difatwakan haram oleh
MUI. Dan inilah hakikat yang hendak diraih dari proyek deradikalisasi
dengan derivatnya (sertifikasi ulama), pengarusutamaan "Islam moderat" menjadi
arus utama di negeri Indonesia dalam bingkai sistem Sekuler
Kapitalis-demokrasi. Dan seolah menjadi kewajiban bagi BNPT untuk
mengaborsi, menyumbat atau mengalenasi kelompok Islamis yang hendak
menegakkan Islam kaffah untuk Indonesia. Penulis melihat justru BNPT
menanam benih spiral kekerasan dan teror dalam ruang politik Indonesia
yang makin carut marut.
Maka dari paparan diatas, wajar jika umat Islam mempersoalkan bahkan
menolak wacana sertifikasi ulama. Karena sebuah ide yang sangat
berbahaya karena menyeret masyarakat luas secara manipulative untuk
melupakan akar/hulu terorisme yang hakiki. Kemudian berpotensi
melahirkan tafsiran menyimpang terhadap nash-nash syariah. Dan tidak
kalah bahayanya akhirnya membuat polarisasi umat Islam (perpecahan).
Program ini pada akhirnya akan melahirkan bahaya (dzarar) lebih
besar berupa tetap tegaknya sistem sekular dan langgengnya imperialisme
Barat di negeri Indonesia atas nama GWOT, HAM, Demokrasi, Pasar bebas,
dan perubahan iklim. Di bawah sistem sekular, umat Islam hidup dalam
kehidupan yang sempit, jauh dari kebahagiaan lahir batin, dan jatuh
dalam peradaban materialisme dan kerusakan moral yang luar biasa. Dan
yang paling dasyat adalah di hadapan Allah SWT termasuk golongan
orang-orang yang nista. Na'udzubillah min dzalik