Islam tidak membedakan antara
pria dan wanita dalam kewajiban mencari ilmu dan melakukan pendalaman serta
pengembangan ilmu pengetahuan; karena kewajiban menuntut ilmu dalam Islam
berlaku untuk semua, sebagaimana sabda Nabi saw:
"طلب العلم فريضة على كل مسلم" [30]
“Menuntut ilmu adalah
kewajiban bagi setiap muslim” setiap
muslim dalam hadits ini mencakup wanita dan pria, karenanya ada riwayat yang
mengatakan “faridhotun ‘ala kulli muslim wa muslimah” meskipun makna riwayatnya
benar, tetapi lafazhnya tidak didapat dalam periwayatan yang shahih[31]
.
Untuk memahami peran dan
partisipasi wanita dalam mempelajari dan pengembangan ilmu pengetahuan cukup
dengan mengutip beberapa riwayat-riwayat hadits dan atsar serta peristiwa
sejarah, antara lain:
ü جاءت امرأة إلى رسول الله فقالت: يا رسول الله،
ذهب الرجال بحديثك فاجعل لنا من نفسك يوما نأتيك فيه تعلمنا مما علمك الله. فقال: "اجتمعن
في يوم كذا في مكان كذا. فأتاهن فعلمهن مما علمه الله” (رواه البخاري ومسلم واللفظ
للبخاري).
Datang seorang wanita
kepada Rasulullah saw seraya berkata: Wahai Rasulullah, orangorang lelaki pergi
(mendengarkan) pelajaranmu, maka buatlah untuk kami satu hari kami dapat
mendatangimu mengajarkan kami apa yang Allah ajarkan kepadamu. Rasulullah saw
menjawab: ”berkumpullah pada suatu hari tertentu” , Maka Rasulullah pun bertemu
dengan wanita-wanita (shahabat) dan mengajarkan mereka” (HR. Bukhari Muslim).
ü عن
أم عطية الأنصارية رضي الله عنها: يا رسول الله إحدانا لايكون لها جلباب. قال:
لتلبسها أختها من جلبابها (متفق عليه).
Dari Ummu ’Athiyyah
al-Anshariyah r.a berkata: wahai Rasulullah seseorang dari kami (wanita
muslimah) tidak memiliki jilbab. Nabi berkata: hendaklah saudaranya
memakaikannya jilbabnya” (memberikan pinjaman jilbab). Muttafaq ’alaihi.
ü
Rasulullah saw pernah meminta
asy-Syifa al-’Adawiyah mengajarkan istrinya Hafshah menulis indah. Hal ini
menggambarkan spirit aktivitas wanita dalam aspek pengetahuan.
ü عن
عائشة رضي الله عنها قالت: نعم النساء نساء الأنصار لم يمنعهن الحياء أن يتفقهن في
الدين (رواه البخاري).
ü
Dari Aisyah r.a
berkata: Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar yang tidak segan-segan
memperdalam agama” (Bukhari).
ü قال
الإمام الزهري: لو جمع علم عائشة بعلم النساء جميعا لكان علم عائشة أفضل. وقال أبو
عمر بن عبد البر رحمه الله: أنها كانت وحيدة عصرها في ثلاثة علوم: علم الفقه وعلم
الطب وعلم الشعر
Imam Zuhri berkata: kalau ilmu
Aisyah r.a dihimpun dengan ilmu wanita-wanita semuanya, niscaya ilmu Aisyah lebih
baik. Dan Abu Umar bin Abdul Barr r.a berkata: sesungguhnya Aisyah satu-satu
wanita pada masanya yang memiliki 3 ilmu: fiqh, prinsip-prinsip medis dan
syair”.
Peran keilmuan kaum wanita
setelah masa Nabi Muhammad saw juga sangat nampak dari peran-peran yang
dimainkan wanita-wanita di masa tabi’in dan tabi’ tabi’in, seperti putrinya
Imam Sa’id al-Musayyib yang mengatakan kepada suaminya yang juga murid ayahnya:
”Ijlis U’allimuka ’Ilma Sa’id” (duduklah padaku aku ajarkan ilmu-ilmunya ayahku
Sa’id).
Demikian pula putri
kesayangannya Imam Malik, yang senantiasa ikut serta dalam majlis ayahnya; jika
ia mendengar kesalahan murid ayahnya dalam majlis ilmu dalam membaca kitab
al-Muwatho’, ia meralat bacaan mereka dengan cara mengetukkan pintu, lalu Imam
Malik pun mengatakan kepada muridnya yang melakukan kesalahan (atas ralat
putrinya tersebut): ” ’Irji’ fal-gholath ma’ak (kembalilah karena kamu
melakukan kesalahan).
Demikian banyak wanita-wanita
muslimah yang memainkan perannya dalam ilmu pengetahuan di masyarakat antara
lain bisa disebutkan disini :
- Ummu Khoir al-Hijaziyah
mempunyai halaqah ilmiah di mesjid Jami’ Amr bin ’Ash pada abad IV H.
- Al-Khatmah istri Abu Muhammad selalu membacakan kitab
suaminya dan menalar kitan Ar-Risalah karangan Syeikh Abu Muhammad bin Abu Zaid
setengah sebagian dari kitab Al-Muwatho’
- Fatimah binti Alauddin As-Samarqandi
-Pengarang Tuhfatul-Fuqoha- menikah dengan Abu-Bakar Al-Kasani “Malikul-Ulama”
-Pengarang Kitab Al-Ba’i’ Syarh kitab Tuhfatul-Fuqaha dengan mahar Qira’at
Kitab Al-Badai’. Yang sempat membuat sebahagian alim ulama menyebutnya sebagai
orang yang: "شرح تحفته وتزوج ابنته" (mensyarah kitab Tuhfahnya dan menikahi istrinya). Sehingga fatwa-fatwanyapun bernilai
plus, karena mendapat legalisir ayah dan suaminya.
- Para perawi hadits dari kalangan wanita pun tidak
sedikit, seperti: Abu Muslim Al-Farahidi Al-Muhaddits menulis sebanyak 70
wanita perawi hadits. Istri AlHafidh Al-Haitsami, anak wanita dari Syeikhnya
bernama Al-Hafidh Al-Iraqi. Karimah binti Mahmud bin Hatim Al-Marwaziyah
“Sayyidatul-Wuzara” adalah salah seorang perawi hadits-hadits Bukhari. Demikian
pula Aisyah binti Hamad bin Abdul Hadi bin Abdul Hamid bin Abdul Hadi bin Yusuf
bin Muhammad Al-Maqdisy yang membidangi spesialisasi hadits.
- Ibnu Hajar berkata: Saya belajar
kepada Zainab binti Abdullah bin Abdul Halim bin Taimiyah Al-Hanbali ( saudara
kandung Imam Ahmad Ibn Taimiyah rahimahullah). Diantara murid-murid Zainab
adalah: Imam Al-Hafidh Muhammad bin Nasiruddin Al-Maqdisi Asy-Syafi’i.
- Masih banyak lagi sederetan wanita Berkwalitas tinggi
dalam berbagai ilmu-ilmu agama, seperti: Sayyidah Nafisah binti Muhammad, Zainab
binti Al-Kamal (yang mempunyai murid bernama: Imam Muhammad bin Hamzah
Al-Husaini), Wazirah binti Umar Al-Mayya ( mempunyai murid bernama Imam
Muhammad bin siwar As-Subki), Zainab binti Makki (guru wanita Imam Ahmad bin
Bakkar An-Nablusi dan Abdullah bin Muhid serta Umar bin Habib), Zaenab binti
Abil-Qasim (yang telah diberi ijazah oleh ulama terkenal Abul-Qosim Mahmud bin
Umar Az-Zamakhsyari -pengarang kitab Al-Kasysyaf- dan oleh Muarrikh Syihabuddin
bin Khulkan), Ummu Abdul-Wahid ( ahli fiqh madzhab Syafi’i, disamping
mempelajari ilmu-ilmu yang lain), Fatimah binti Jauhar (salah seorang
guru Imam Ibnu Qoyyim), Zubaidah (istri Harun Ar-Rasyid
adalah ahli Fiqh)[32].
Al-Hafidh Jalaluddin As-Suyuthi menyelesaikan qiro’at
kitab “Bughyatul-Wu’at kepada beberapa ulama wanita pada zamannya: Ummu Hani
binti Hasan Al-Hawrini, Hajar binti Muhammad Al-Misriyah, Ashilah Nasywan binti
Abdullah Al-Kanani, Kamaliyah binti Muhammad bin
Abu-Bakar Al-Jurjani, Amatul-Khaliq binti Abdul-Latif Al-Uqba, Amatul-Aziz
binti Muhammad Al-Anbasi, Fatimah binti Ali bin Yasir, Khadijah binti
Abil-Hasan bin Al-Mulaqqon.