Secara tegas Islam mendeklarasikan persamaan antara kaum
lelaki dan wanita, Allah berfirman dalam
QS. an-Nahl [16]:97, yang artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh,
baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan
Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri
balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan“.
Jelaslah bahwa Allah tidak pernah dan tidak akan pernah pilih kasih antara umat manusia siapa saja yang beramal shalih maka akan memperoleh pahala yang tidak ada aniaya sedikitpun, firman Allah SWT:
Jelaslah bahwa Allah tidak pernah dan tidak akan pernah pilih kasih antara umat manusia siapa saja yang beramal shalih maka akan memperoleh pahala yang tidak ada aniaya sedikitpun, firman Allah SWT:
”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di
antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. Al
Hujurat [49]:13
FirmanNya: ”inna akramakum 'indallahi atqakum, yang
artinya: sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang
paling bertaqwa, terdapat sebuah penegasan bahwa Allah SWT sama sekali tidak
pilih kasih dalam hal pahala dan ganjaran. Allah juga tidak pilih kasih dalam
hal dosa. Demikian pula persamaan dalam kewajiban-kewajibannya sebagai hamba
termasuk pula kewajiban-kewajiban terhadap agamanya. Semua itu dilakukan dalam
rangka menyiapkan wanita muslimah untuk mengemban peran besar dalam kehidupan
sosial politik umat [26].
Dengan demikian Islam sangat mengakomodir peran-peran
strategis dalam kehidupan sosial dan politik; peran dalam rumah tangga, peran
di mesjid, memberantas buta aksara, peran arahan dan bimbingan masyarakat,
pendidikan dan pengajaran, peran dalam amar makruf nahi munkar, peran
memberdayakan sesama kaum perempuan, peran mengembangkan ilmu pengetahuan dan
dakwah kepada kebajikan, peran-peran wanita dalam bidang kesehatan dsb.
Islam
bahkan menganjurkan dan memerintahkan wanita-wanita muslimah untuk berperan
aktif dalam rumah tangga, masyarakat, negara dan pemerintahan tanpa
mengorbankan kewajiban-kewajibannya yang lain sebagai istri, ibu rumah tangga;
karena semua hal tersebut dilakukan secara seimbang, moderat dan adil antara
hak dan kewajiban, dengan tetap menjaga harga diri dan kehormatannya selaku
makhluk Allah yang dimuliakan dan dihormati.
Dalam
catatan sejarah Islam seorang wanita Ummu Salamah ra, istri Nabi saw ikut
berunding dengan para shahabat Rasulullah saw dalam peristiwa politik Perjanjian
Hudaibiyah. Ummu Salamah ra memberikan saran-saran politik kepada Rasulullah
saw untuk mengambil langkah-langkah efektif dalam menenangkan emosi yang timbul
di kalangan para sahabat ra, yang hampir berputus asa dalam memecahkah masalah
yang terjadi saat itu[27].
Diantara
bentuk partisipasi politik wanita dalam Islam pemberian komitmen dan kesetiaan
(baca: Bai’at) untuk pembelaan terhadap
Islam. Di zaman Rasulullah saw seorang wanita bernama Ummu Hani binti Abi
Thalib pernah berperan sosial dengan membangun rumah sakit. Bahkan beliau
berperan dalam aktifitas politik dengan melakukan perlindungan terhadap
keluarga besarnya saat kaum muslimin memasuki kota Mekkah pada peristiwa Fathu
Mekkah.
Ada
seorang wanita yang berperan dalam menggunakan hak berpendapat pada masa pemerintahan
Umar bin Khattab ra; setelah Umar r.a melaksanakan khutbah di masjid, beliau
berpendapat pembatasan batas nilai mahar. Selesai beliau berkhutbah, wanita
tersebut berdiri seraya berkata: "Siapakah anda, sehingga memberi batasan
atas apa yang Allah swt dan Rasul-Nya tidak membatasinya ?" serta merta
Umar r.a mengomentari: "Wanita ini benar, dan Umar-lah yang salah.
Peran
wanita dalam ranah politik, khususnya dalam kesertaan di parlemen suatu negara,
maka hal itu dibolehkan selama ada kemaslahatan. Kalimat dibolehkan disini
tidak berarti keharusan dan kewajiban, tetapi diboleh dalam batas kemaslahtan
dan kemudharatan. Kecuali posisi kepala negara, maka hal tersebut diserahkan
kepada lelaki, karena bagi wanita secara umum amanat kepala negara merupakan
suatu yang berat dan di luar kemampuan wanita dalam menghadapi persoalan negara
yang sangat kompleks dan pelik. Kata-kata secara umum di sini berarti adanya
sebahagian wanita yang memiliki kemampuan untuk mengemban amanat berat tersebut
seperti halnya Ratu Bilqis di jaman dahulu; tetapi perlu diingat bahwa
penetapan hukum dalam Islam berlandaskan pada sesuatu yang lebih global dan
keumuman bukan sesuatu yang jarang, bahkan ulama Islam mengatakan: ”an-Nadir
laa Hukma Lahu” sesuatu yang jarang tidak memiliki hukum (tidak menjadi dasar
hukum)”[28]
.
Sangat
nampak jelas bahwa peran wanita di ranah sosial politik merupakan peran yang
tidak boleh dikebiri dan dipasung. Wanita bahkan sejatinya memainkan perannya
dalam ranah ini sesuai dengan adab dan etika Islam, tanpa mengorbankan
kehormatan dan kemuliaan dirinya sebagaimana diberikan penghargaan tersebut
oleh Islam.
Dintara
etika wanita yang berpartisipasi dalam ranah sosial politk adalah menjaga
kehormatan dirinya dengan tidak melakukan tabarruj (bersolek yang mengundang
fitnah), menghindari sedapat mungkin ikhtilath apalagi khalwat [29],
melakukan komunikasi sesuai keperluannya dan pada batas-batas logis.
Diantara
cara menjaga kehormatan wanita, Allah SWT memberikan cara yang efektif, yaitu
menutup aurat wanita, sebagaimana firmanNya: "Katakanlah
kepada wanita yang beriman... ... ... ... hendaklah mereka menutupkan
kerudung kepalanya sampai ke dadanya"... ... . QS. An-Nur: 31.
Dan
selanjutnya juga diperkuat dengan firmanNya yang lain: "Hai Nabi, katakanlah
kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin,
supaya mereka menutup kepala dan badan mereka dengan jilbabnya supaya mereka
dapat dikenal orang (sebagai muslimah), maka tentulah mereka tidak diganggu
(disakiti) oleh laki-laki yang jahat. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Pengasih" (QS. Al-Ahzab: 59).
Perintah Allah diatas merupakan kewajiban bagi wanita
muslimah sebagaimana perintah-perintah lain dalam surat an-Nur: "Inilah
satu surah yang Kami turunkan kepada rasul dan Kami wajibkan menjalankan
hukum-hukum syariat yang tersebut di dalamnya. Dan Kami turunkan pula di dalamnya
keterangan-keterangan yang jelas, semoga kamu dapat mengingatnya".
Perintah Allah di atas ditegaskan juga oleh Nabi Muhammad
saw dalam hadist beliau yang artinya: "Wahai Asma! Sesungguhnya seorang
perempuan apabila sudah cukup umur, tidak boleh dilihat seluruh anggota
tubuhnya, kecuali ini dan ini, sambil Rasulullah menunjuk muka dan kedua telapak
tangannya".
Ummul Mukminin Aisyah r.a berkata: ”Semoga Allah memberi
rahmat kepada perempuan-perempuan Muhajirin; di waktu Allah menurunkan ayat
kerudung itu, mereka koyak kain-kain berlukis mereka yang belum dijahit, lalu mereka
jadikan kerudung". Allah yang menciptakan
makhluknya, tentunya Dialah yang paling memahami kebutuhan dan solusi terbaik
untuk makhlukNya.