Dalam konteks kemanusiaan, meminta pertolongan kepada sesama saudara muslim sangat diperlukan. Hidup ini terlalu berat untuk dijalani seorang diri, bahkan meskipun oleh seorang mukmin. Demikian juga upaya menjaga kesinambungan amal. Kalaulah tidak seperti itu, tentu Rasulullah tidak begitu sering menekankan pentingnya hidup berjama’ah, sebuah bentuk lain dari menolak kesendirian. Sebab, seperti perumpamaan yang disampaikan Rasulullah, serigala itu akan memangsa domba-domba yang sendirian. (al-hadits)
Meminta tolong kepada teman, saudara, keluarga,
orang-orang shalih, bisa bermacam bentuknya. Bisa dengan meminta nasehat
dari mereka, menimba pengalaman, atau saling berbagi. Intinya,
bagaimana agar amal-amal yang kita tabung bisa terus berjalan, meski
sedikit demi sedikit. Kita memang harus menyadari, bahwa jalan kebajikan
itu beribu jumlahnya. Tak jadi soal mana yang kita pilih. Itu memberi
kesempatan bagi segala macam orang untuk beramal, termasuk kepada kita.
Diantara amal kebajikan yang sering
dilalaikan adalah anjuran saling berbagi dan menolong sesama. Dalam
surah al-ma’un sifat ini termasuk sifat yang tercela dan terancam dengan
pendustaan terhadap hari pembalasan dan ajaran Islam. Agar terhindar
dari sifat ini mari kita berteladan kepada salaf saleh dan generasi
terbaik dari umat ini.
Dalam sejarah emas sahabat, kita
menemukan riwayat tentang ketokohan Abdurrahman bin Auf dalam sikap
menolong dan bersegera dalam kebaikan. Ia tersentak dengan kekhawatiran
terhadap kebangkrutan dan kerugian di akhirat, padahal di dunia dia
telah meraih kekayaan yang berlimpah. Hal itu terinspirasi dari
informasi Rasul dari hadits Aisyah ra. Ketika mendengar suara
hiruk-pikuk, Aisyah sontak bertanya, “Apakah yang telah terjadi di kota
Madinah?” “Kafilah Abdurrahman bin Auf baru datang dari Syam membawa
barang-barang dagangannya,” seseorang menjawab. Ummul Mukminin berkata
lagi, “Kafilah yang telah menyebabkan semua ini?”“Benar, ya Ummul
Mukminin. Karena ada 700 kendaraan.” Aisyah menggeleng-gelengkan
kepalanya. Pandangannya jauh menerawang seolah-olah hendak
mengingat-ingat kejadian yang pernah dilihat dan didengarnya.
Kemudian ia berkata, “Aku ingat, aku pernah mendengar
Rasululah berkata, `Kulihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan
perlahan-lahan.”
Sebagian sahabat mendengar itu.
Mereka pun menyampaikannya kepada Abdurrahman bin Auf. Alangkah
terkejutnya saudagar kaya itu. Sebelum tali-temali perniagaannya
dilepaskan, ia segera melangkahkan kakinya ke rumah Aisyah.
“Engkau telah mengingatkanku sebuah hadits yang tak
mungkin kulupa.” Abdurrahman bin Auf berkata lagi, “Maka dengan ini aku
mengharap dengan sangat agar engkau menjadi saksi, bahwa kafilah ini
dengan semua muatannya berikut kendaraan dan perlengkapannya,
kupersembahkan di jalan Allah.”
Dan dibagikanlah seluruh muatan 700
kendaraan itu kepada semua penduduk Madinah dan sekitarnya. Sebuah infak
yang sangat besar. Abdurrahman bin Auf adalah seorang pemimpin yang
mengendalikan hartanya. Bukan seorang budak yang dikendalikan oleh
hartanya. Sebagai bukti, ia tidak mau celaka dengan mengumpulkan harta
kemudian menyimpannya. Ia mengumpulkan harta dengan jalan yang halal.
Kemudian, harta itu tidak ia nikmati
sendirian. Keluarga, kaum kerabatnya, saudara-saudaranya dan masyarakat
ikut juga menikmati kekayaan Abdurrahman bin Auf. Saking kayanya
Abdurrahman bin Auf, seseorang pernah berkata, “Seluruh penduduk Madinah
bersatu dengan Abdurrahman bin Auf. Sepertiga hartanya dipinjamkan
kepada mereka. Sepertiga lagi dipergunakannya untuk membayar utang-utang
mereka. Dan sepertiga sisanya diberikan dan dibagi-bagikan kepada
mereka.”
Abdurahman bin Auf sadar bahwa harta
kekayaan yang ada padanya tidak akan mendatangkan kelegaan dan
kesenangan pada dirinya jika tidak ia pergunakan untuk membela agama
Allah dan membantu sahabat-sahabatnya. Pada suatu hari, dihidangkan
kepada Abdurahman bin Auf makanan untuk berbuka puasa. Memang, ketika
itu ia tengah berpuasa. Sewaktu pandangannya jatuh pada hidangan
tersebut, timbul selera makannya. Tetapi, beberapa saat kemudian ia
malah menangis dan berkata, “Mush’ab bin Umair telah gugur sebagai
seorang syahid. Ia seorang yang jauh lebih baik daripadaku. Ia hanya
mendapat kafan sehelai burdah; jika ditutupkan ke kepalanya, maka
kelihatan kakinya. Dan jika ditutupkan kedua kakinya, terbuka
kepalanya.”
Abdurrahman bin Auf berhenti sejenak.
Kemudian melanjutkan dengan suara yang juga masih terisak dan berat,
“Demikian pula Hamzah yang jauh lebih baik daripadaku. Ia pun gugur
sebagai syahid, dan di saat akan dikuburkan hanya terdapat baginya
sehelai selendang. Telah dihamparkan bagi kami dunia seluas-luasnya, dan
telah diberikan pula kepada kami hasil sebanyak-banyaknya. Sungguh kami
khawatir telah didahulukan pahala kebaikan kami.”
Begitulah Abdurrahman bin Auf. Ia selalu takut bahwa
hartanya hanya akan memberatkan dirinya di hadapan Allah. Ketakutan itu
sering sekali, akhirnya menumpahkan air matanya. Padahal, ia tidak
pernah mengambil harta yang haram sedikitpun.
Pada hari lain, sebagian sahabat berkumpul bersama
Abdurrahman bin Auf menghadapi jamuan di rumahnya. Tak lama setalah
makanan diletakkan di hadapan mereka, tiba-tiba ia kembali menangis.
Sontak para sahabat terkejut. Mereka pun bertanya, “Kenapa kau menangis,
wahai Abdurrahman bin Auf?” Abdurrahman bin Auf sejenak tidak menjawab.
Ia menangis tersedu-sedu. Sahabat benar-benar melihat bahwa be¬tapa
halusnya hati seorang Abdurrahman bin Auf. Ia mudah tersentuh dan begitu
penuh kekhawatiran akan segala apa yang diperbuatnya di dunia ini.
Kemudian terdengar Abdurrahman bin Auf menjawab,
“Rasulullah Saw. wafat dan belum pernah beliau berikut keluarganya makan
roti gandum sampai kenyang. Apa harapan kita apabila dipanjangkan usia
tetapi tidak menambah kebaikan?”
Jika sudah begini, bukan hanya Abdurrahman bin Auf yang
menangis, para sahabat pun akan ikut menangis. Mereka adalah orang-orang
yang hatinya mudah tersentuh, dekat dengan Allah dan tak pernah
berhenti mengharap ridha Allah. Mari kita ikuti jejak kebaikan istimewa
mereka.
Oleh: Dr. Tajuddin Pogo, Lc, MH
IKADI